Jumat, 11 Februari 2011

MENGAMBIL PELAJARAN DARI KRISIS TIMTENG

Revolusi melati yang dilancarkan rakyat Tunisia berhasil melengserkan rezim diktator Zeine El Abidin Ben Ali yang telah berkuasa sekitar 23 tahun. Tidak ada yang sadar akan bahaya laten krisis Tunisia, hingga seorang pemuda membakar dirinya pada 17 Desember 2010 lalu, karena tingginya angka kemiskinan dan merajalelanya pengangguran. Momen ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk memobilisasi massa guna menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali melalui demontrasi di jalanan. Ben Ali yang sempat menyelamatkan dirinya ke Arab Saudi, pun akhirnya lengser dan digantikan oleh PM Mohammed Ghannouchi.
Teori domino sebagaimana yang terjadi pada negera-negara Komunis Eropa Timur pasca runtuhnya Uni Soviet di dasawarsa 1980-an yang menyebabkan jatuhnya Rezim di Jerman Timur, Rumania, Polandia, Hongaria hingga pecahnya Yugoslavia dan Ceko-slovakia, kini kembali terjadi dalam konteks krisis di Timur Tengah. Efek domino ini berpotensi terjadi mengingat negara-negara di kawasan Timur Tengah memiliki kharakteristik yang relatif sama, yakni dipimpin oleh Rezim sekuler yang berkuasa berpuluh tahun, dimana korupsi, nepotisme dan kemiskinan rakyat telah menjadi “menu harian”.
Mesir, Aljazair, Libya, Yaman dan Jordania terancam mengalami kisah serupa dengan Tunisia. Di Yaman, ribuan warga turun ke jalan kota Sana’a pada Kamis (28/01/2011) menuntut perubahan pemerintah. Pengunjuk rasa sambil membawa poster yang juga menuntut perbaikan kondisi kehidupan di Yaman, negara termiskin di dunia Arab. Di Mesir, Para aktivis politik menyebarkan seruan demo di jejaring sosial facebook dan mengajak rakyat Mesir berpartisipasi dalam demo akbar "Jumat Kemarahan” pada tanggal 4 Februari 2011. Libya-pun ikut bergolak, demonstrasi warga di ibukota cukup menjadi bukti tingginya tingkat ketidakpuasan rakyat Libya atas rezim berkuasa. Padahal sebelumnya, protes merupakan kata yang hampir tidak pernah didengar dari Libya. Sementara di Jordania pada 16 Januari lalu, sekitar 3.000 warga berdemonstrasi di depan gedung parlemen negara ini dalam rangka memprotes kebijakan ekonomi. Mereka meneriakkan slogan "Jordania bukan hanya untuk orang-orang kaya saja".(http://www.inilah.com)
Rangkaian aksi protes dan demontrasi di negara-negara Timur Tengah menarik perhatian dunia, terutama demo yang diramalkan akan menciptakan perubahan pucuk pemerintahan di negera-negara di kawasan itu. Terlebih negara seperti Mesir dan Jordania terhitung sebagai negara kunci sehingga perubahan pemerintahan di negara tersebut berpotensi merubah peta politik di wilayah Timur Tengah.

Akar Sejarah

Jika membuka kembali sejarahnya, maka akan dapat dipahami mengapa negara-negara di kawasan Timur Tengah memiliki banyak kesamaan. Hal ini terjadi karena negara-negara tersebut pada awalnya bersatu dalam satu negara berdaulat bernama Khilafah Utsmaniyyah yang berpusat di Istambul, Turki. Namun rongrongan kaum kafir melalui ghazwul fikr (perang pemikiran) telah membuat Utsmaniyyah runtuh dan tercerai berai menjadi banyak negara kecil di bawah kontrol pihak barat, terutama : Inggris, Perancis dan belakangan Amerika Serikat. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar Ummat Islam senantiasa tetap bersatu dalam tali agama Allah, sebagaimana firman-Nya:” Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (TQS. Ali Imran : 103)
Sarana untuk menghancurkan Utsmaniyyah di Turki waktu itu adalah dengan menghidupkan paham nasionalisme. Bermula dari propaganda nasionalisme yang dipelopori oleh Partai Persatuan dan Pengembangan, mereka memulai gerakannya dengan men-Turki-kan Daulah Utsmaniah. Mereka berusaha menyebarkan rasa permusuhan terhadap bangsa Arab, diantaranya dengan membatasi keistimewaan yang diberikan Utsmaniah hanya kepada bangsa Turki saja. Gerakan itu membuat bangsa Arab berang. Akibatnya, dalam waktu singkat bermunculan gerakan "fanatisme Arab" dan dengan cepat menyebar di seluruh wilayah pemerintahan Utsmaniah, seperti di Mesir, Syam, Irak, dan Hijaz. Padahal Rasulullah Muhammad SAW sudah mengingatkan bahwa :”Orang Arab tidaklah lebih baik dari orang non Arab. Sebaliknya, orang non Arab juga tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam kecuali dalam hal ketaqwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah liat.” (HR Bukhari & Muslim dari Abu Musa)
Namun orang Arab sudah telanjur terprovokasi. Gerakan fanatisme Arab ini didorong lebih jauh lagi oleh Negib Azoury, seorang Kristen pegawai pemerintahan Utsmani di Palestina. Ia berhasil menerbitkan buku Le Revell de la Nation Arabe. Di dalam bukunya tersebut, ia mengutarakan gagasannya untuk membuat suatu Arab empire yang mempunyai batas-batas alami, yaitu: Lembah Eufrat dan Tigris, Lautan India, Terusan Suez, dan Lautan Tengah. Gagasan ini jelas mendorong lebih cepat terciptanya separatisme wilayah Arab dari kekuasaan Utsmani. (http://www.eramuslim.com)
Melemahnya Utsmaniyyah akibat isu nasionalisme dimanfaatkan pihak Barat dengan mengirimkan TE Lawrence, mata - mata Inggris didikan Yahudi, yang dikemudian hari dikenal dengan Lawrence of Arabiya. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, di bawah bimbingan dan arahan TE Lawrence, akhirnya Revolusi Arab berhasil menghantam kekuatan Khilafah Utsmaniah di Turki. Puncaknya pada 3 Maret 1924 Mustafa Kemal merebut tampuk kepemimpinan Utsmaniah melalui gerakan Kamaliyun, yang melakukan aktivitasnya di bawah tanah. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari gerakan Masoniah Internasional. Atas permintaan dari pihak Barat, Kemal kemudian menghapus sistem Khilafah, Mengasingkan keluarga Utsmaniah, Memproklamirkan berdirinya negara Republik Turki yang sekular; dan pembekuan hak milik dan harta milik keluarga Utsmaniah.
Keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah praktis telah menghilangkan ikatan ideologis kaum muslimin yang telah terjalin selama 1306 tahun sejak masa Daulah Madinah, Khulafaur Rasyidin, Khilafah Ummayyah, Abbasiyyah hingga Utsmaniyyah. Ummat Islam terpecah belah ke dalam banyak negara yang bersekutu dengan Barat sehingga meski pihak rezim berkuasa memerintah secara otoriter, korup dan bertindak represif pada rakyatnya, pihak barat tidak pernah merasa keberatan. Kedekatan Negara Arab dengan AS dan sekutunya berikut dengan berbagai kepentingannya membuat mereka menjadi lemah, sebegitu lemahnya hingga negara -negara eks wilayah Khilafah yang berada di kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Jordania, Iran, Arab Saudi dll. tidak mampu menyelesaikan problem ummat, seperti: status Masjid Al Aqsa yang berada dalam kekuasaan Israel.

Kebangkitan Islam

Sejumlah pihak menyatakan bahwa krisis di Timur Tengah bisa menjadi momentum kebangkitan Islam. Namun sayangnya realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda, meski gejolak yang sedang terjadi berada di negeri-negeri arab dimana dakwah Islam berawal, namun tidak berarti krisis ini menjadi pintu kebangkitan Islam. Di Tunisia, Perdana Menteri Mouhammed Ghannouchi yang mengagantikan Presiden Ben Ali sesungguhnya adalah tokoh kepercayaan Ben Ali, dan Ghannouchi sudah berkuasa sejak tahun 1999 bersama sama Zeine El Abedin Ben Ali. Ia menyarankan supaya Dewan Konstitusi Tunisia menunjuk Ketua Palemen Foued Mebezza sebagai Presiden sementara Tunisia. Dan anjuran tersebut sesungguhnya bukan atas aspirasi rakyat. Begitupun di Mesir, sekalipun kelak Hosni Mubaraq akan jatuh, penggantinya diperkirakan Wapres Omar Sulayman, seorang mantan Kepala Intelejen Mesir kepercayaan Mubaraq yang memiliki hubungan baik dengan CIA.
Pada kenyataannya krisis di timteng belum mampu “mengetuk pintu” kebangkitan Islam, hal ini karena pihak oposisi yang merintis perubahan di negeri-negeri tersebut hanya berkutat pada isu parsial, yakni pergantian pucuk pimpinan negara yang telah bertahta puluhan tahun. Krisis hanya berkutat di seputar perebutan kekuasaan belaka. Belum ada opini yang lebih luas dan urgen untuk sebuah perbaikan kondisi. Padahal Allah SWT berfirman :”….. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka meuobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…..” (TQS. Ar Ra’d : 11)
Sesungguhnya kebangkitan sejati hanya akan terjadi bila ide kebangkitan untuk merubah keadaan sebuah masyarakat berakar dari sebuah kesadaran politik (wa’yu siyasih). Kesadaran politik adalah pandangan universal dengan perspektif yang khas (ideologi tertentu). Dengan kata lain kesadaran politik akan timbul pada seorang ideolog (mabda’iyin), yakni seseorang yang mampu memahami berbagai persolan secara global dari sudut ideologi (mabda’) yang diembannya. Untuk menjadi seseorang yang memiliki kesadaran politik tidaklah harus orang yang berpendidikan atau berstatus sosial tinggi. Terbukti para sahabat Rasulullah Muhammad SAW berasal dari berbagai kalangan mulai penggembala domba hingga pengusaha, namun beliau semua adalah orang yang memiliki kesadaran politik. Para sahabat mampu memahami persolan ummat secara global dan menganalisanya dari sudut pandang yang khas, yakni ideologi (mabda) Islam. Dengan kesadarannya itu para sahabat memelihara urusan dan kepentingan ummat.
Seseorang yang memiliki kesadaran politik akan berusaha memperjuangkan idealismenya sehingga pandangan tersebut dianut oleh masyarakat. Mendakwahkan idealisme tersebut sehingga terealisasi dalam kehidupan. Selain itu seorang yang memiliki kesadaran politik memiliki sifat hati-hati dalam menerima berita dan pendapat tertentu. Pemikirannya tidak mudah terpengaruh oleh kata-kata manis janji politik ataupun nama besar seorang tokoh.
Dengan demikian yang dibutuhkan untuk sebuah kebangkitan islam adalah sejumlah besar muslim yang memiliki kesadaran politik islam. Mereka akan konsisten memperjuangkan islam agar tegak di muka bumi, menuju kondisi masyarakat yang lebih baik demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin (izzul islam wal muslimin), bukan sekedar memperebutkan kursi kekuasaan untuk individu atau kelompok tertentu.
Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar