Kamis, 24 Maret 2011

LIBYA UNDER ATTACK

Teori domino yang meramalkan bahwa krisis di timur tengah akan berimbas kepada banyak Negara di regional tersebut benar – benar terbukti. Pasca jatuhnya rezim Zainal Abidin Ben Ali di Tunisia, angin perubahan berhembus keras ke Mesir yang menyebabkan jatuhnya Presiden Hosni Mubarak. Terinspirasi dua revolusi tersebut, sejumlah wilayah di Timur Tengahpun ikut menggeliat, seperti di Maroko, Jordania, Yaman, Bahrain dan Libya.
Namun kondisi di tiga Negara (Yaman, Bahrain dan Libya) terasa lebih “panas” dibandingkan di wilayah lain. Di ketiga Negara tersebut pemerintah berkuasa kerepotan menghadapi tuntutan perubahan rakyat, sehingga mereka mengambil sikap represif dengan menyerang demonstran menggunakan kekuatan militer. Sarah Merusek, seorang analis politik, menyampaikan bahwa Pemerintah Bahrain menggunakan kekuatan militer untuk menyerang para demonstran. Menurutnya aksi pemerintah Bahrain ini dilakukan atas lampu hijau dari pihak Amerika, khususnya pasca Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengunjungi Bahrain pada hari Sabtu 12 Maret 2011 (www.taghrib.ir/) . Hal yang kurang lebih sama terjadi di Yaman, dilaporkan 52 orang tewas akibat bentrokan antara demonstran dan pihak keamanan. “Uniknya”, kekacauan di Bahrain dan Yaman ini kurang mendapat atensi dari PBB ataupun Negara besar seperti Amerika Serikat yang notabene adalah Negara Sahabat bagi kedua Negara tersebut.
Amerika dan PBB lebih tertarik pada kekacauan di Libya. Di Negeri ini, Moamar Khadafi juga bertidak represif dengan menyerang warganya dengan kekuatan militer. Bedanya, bila di Bahrain dan Yaman pihak militer menyerang demonstran yang tak bersenjatan, maka di Libya pihak militer menyerang gabungan kelompok demonstran dan kelompok bersenjata anti khadafi. Tak ayal lagi korbanpun berjatuhan. Jumlah korban jiwa dalam pembantaian di Libya masih simpang siur. Wakil Dubes Libya untuk PBB, yang membelot dari Khadafi, menyatakan bahwa korban tewas dalam kerusuhan anti-Kadhafi yang meletus sejak 15 Februari lalu itu mencapai 800 orang. Tetapi, rezim Kadhafi kemarin merilis data untuk kali pertama bahwa korban tewas berjumlah 300 orang. Itu terdiri dari 189 warga sipil dan 111 tentara. Korban paling banyak berasal dari Benghazi, kota terbesar kedua di Libya. Menurut kementerian dalam negeri, korban tewas di Benghazi adalah 104 warga sipil dan 10 tentara. Sebaliknya, Federasi HAM Internasional (IFHR) kemarin mengumumkan bahwa sedikitnya 640 orang tewas akibat dibantai militer Libya. Organisasi yang bermarkas di Paris, Prancis, itu merinci bahwa 275 orang tewas di Tripoli dan 230 tewas di Benghazi. Lalu, sisanya berasal dari kota-kota lain di Libya. (www.indopos.co.id/)
Merespon hal ini PBB melalui Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengeluarkan resolusi No.1970 pada tanggal 26 Februari 2011 yang berisi himbauan kepada seluruh anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah kolektif menghukum rezim Khadafi di Libya yang akhir-akhir ini semakin masif melakukan represi terhadap warga negaranya. Keputusan diambil secara aklamasi oleh 15 Anggota DK PBB. Belakangan resolusi ini diikuti resolusi lanjutan yang mengesahkan No Fly Zone (Zona Larangan Terbang) atas wilayah udara Libya, Kamis (17/3/2011). Resolusi diusung oleh Perancis, Inggris dan Lebanon, disetujui 10 Anggota Dewan Keamanan dan 5 anggota abstain. Zona larangan terbang dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak jet-jet militer Libya dan mencegah mereka menyerang penduduk sipil dan kelompok oposisi. Merespon resolusi ini, pihak NATO telah memulai Operasi Odyssey Dawn (Petualangan Fajar) terhadap Libya. Pasukan Militer AS dan Inggris mengerahkan kapal selam dan kapal perang mereka untuk menembakkan setidaknya 112 rudal jelajah Tomahawk, Sabtu (19/3/2011). (http://www.suara-islam.com/)

MAKNA DIBALIK SEBUAH RESOLUSI

Secara resmi tujuan resolusi Dewan Keamanan PBB yang memberlakukan Zone Larangan Terbang (No Fly Zone) di wilayah udara Libya adalah untuk melindungi hak – hak sipil warga Libya, khususnya pihak oposisi. Namun sebagian pengamat menyatakan bahwa urusannya tidaklah sesederhana itu. Jika mengingat track record pertentangan antara pihak Barat dengan Khadaffi selama ini, bias jadi serangan NATO ke Libya bukan sekedar untuk melindungi hak – hak sipil belaka.
Sejak menjadi pemimpin Libya pada tahun 1969, Khadafi telah menunjukkan jati dirinya sebagai seorang sosialis “Thothok”. Kebenciannya yang besar terhadap Kapitalisme dan Barat telah mendorong Khadafi untuk membantu semua pihak yang memiliki visi sama (melawan kepentingan barat). Tidak peduli berideologi kiri maupun kanan, asalkan memiliki tujuan menentang Kapitalisme, maka dengan senang hati Khadafi akan membantu gerakan tersebut, mulai dari bantuan dana, fasilitas hingga pelatihan militer. Sikapnya yang menentang arogansi barat ini tentu saja membuat Khadaffi menjadi salah satu musuh besar pihak barat, terlebih Khadafi juga beragama Islam. Berbagai serangan fisik maupun politik telah dilancarkan pihak Barat kepada Khadafi dan para pendukungnya. Salah satu serangan berbahaya adalah serangan Udara Amerika Serikat ke ibu kota Libya, Tripoli pada tahun 1986. Serangan tersebut cukup menggoncang Khadafi secara personal, sebab salah satu anak angkatnya menjadi korban tewas dalam peristiwa tersebut.
Pun demikian dengan serangan NATO pada Maret 2011 ini, sejumlah pihak menganggap serangan sekutu ke Libya ini bermotif ideologi dan ekonomi. Sebagaimana yang disampaikan oleh pemimpin revolusi Kuba, Fidel Castro, Dalam sebuah esai berjudul “NATO's Inevitable War” Castro mengatakan bahwa AS dan NATO melihat perang sipil Libya sebagai kesempatan untuk menyerukan intervensi militer dalam upaya untuk mendapatkan minyak dari tangan negara di Afrika utara itu..( www.suara-islam.com). Hal yang kurang lebih sama disampaikan pula oleh Presiden Venezuela, Hugo Chavez. Sebagai sesama pemimpin Negara Sosialis, keduanya nampaknya merasa perlu untuk membela Khadafi. Namun realitasnya memang potensi minyak Libya cukup menggiurkan, khususnya bagi para imperialis barat. Libya adalah produsen nomor sembilan terbesar di antara 12 anggota OPEC. Sebagian besar produksi minyak dan bahari bakar dari Libya dikirim ke Eropa. Libya memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika. Dalam keadaan normal produksi minya Libya adalah 1.7 juta Bph atau hampir dua kali lipat produksi minyak Indonesia.( http://bataviase.co.id/)
Kepentingan Ideologi dan ekonomi memang tidak dapat dinafikan dalam persoalan ini. “Keseriusan” sekutu mengirim mesin – mesin perangnya mengesankan serangan ini sebagai bagian invasi barat daripada usaha perlindungan hak – hak sipil. Tercatat Prancis sebagai pemegang komando sekutu dalam operasi militer ini, mengerahkan sebanyak 20 jet tempur dalam operasi awal di Libya, termasuk pesawat tempur multirole Rafale, jet tempur Mirage dan satu pesawat mata-mata tak berawak AWACS. Tak kurang juga Kapal induk Prancis, Charles de Gaulle, dengan membawa 15 jet tempur plus tiga fregat, sebuah kapal pasokan bahan bakar, dan kapal selam dilibatkan perancis dalam serangan ini. Sementara inggris memberi dukungan satu kapal selam kelas Trafalgar. sejumlah jet Tornado GR4, pesawat VC10 dan pesawat pengisian BBM Tristar, seperti E3D Sentry dan pesawat Sentinel surveilans. Dua fregat di lepas pantai Libya, HMS Cumberland dan HMS Westminster, yang juga dipanggil untuk mendukung operasi. Sedangkan Amerika Serikat menyumbangkan tenaga berupa tiga kapal selam dilengkapi dengan rudal Tomahawk dan lima kapal tempur US Navy. Belum lagi tambahan pasukan dari Negara – Negara anggota NATO lainnya.(www.suara-islam.com)
Agresifnya sekutu meninvasi Libya ini dikritik dan disesalkan berbagai pihak. Tidak kurang dari Sekjen Liga Arab, Amr Mousa, menyatakan "Yang kami inginkan adalah perlindungan bagi warga sipil, bukan justru menyerang warga.". Dukungan 22 Negara anggota liga Arab terhadap pemberlakuan No Flay Zone di Libya bukanlah “ijin” bagi sekutu untuk menyerang Libya. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, Sekutu dengan sengaja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk menyerang Libya guna kepentingan politik dan ekonominya.

IBRAH BAGI UMMAT

Keterlibatan AS dan sekutunya dalam berbagai peristiwa di belahan bumi ini sulit untuk dinafikan. Sebagai satu – satunya Negara Super Power, membuat Negara lain di dunia kesulitan menghindari intervensi AS karena tidak ada kekuatan lain yang mampu mengimbangi AS sebagaimana di masa perang dingin dulu. Namun keleluasaan AS melakukan intervensi ke berbagai Negara dengan soft ataupun hard power juga bergantung pada keterlibatan “orang dalam” pada usaha tersebut. Demikian pula yang terjadi di Libya saat ini, Permohonan bantuan oposisi Libya agar pihak asing terlibat dalam krisis di negeri itu dan persetujuan 22 Negara anggota Liga Arab terhadap penerapan No Fly Zone telah menjadi celah yang digunakan AS dan konco – konconya untuk menguasai Libya.
Sungguh keterlibatan pihak asing, yang notabene beragama ghoiru Islam, dalam berbagai masalah yang dihadapi negeri – negeri muslim adalah sebuah kesalahan fatal. Telah terbukti dalam sejarah, keterlibatan asing yang terlalu dalam pada persoalan yang dialami oleh Khilafah Utsmaniyyah Turki telah membuat Utsmaniyyah semakin tereduksi kemampuannya hingga akhirnya benar – benar runtuh pada 3 Maret 1924 akibat konspirasi asing (Inggris dan Yahudi) yang menggunakan tangan seorang Jenderal Utsmani keturunan Yahudi bernama Mustafa Kemal. Pada masa – masa pasca keruntuhan Utsmaniyyah, keterlibatan pihak asing dalam persoalan intern negeri – negeri Islam semakin jelas, karena secara langsung ataupun tidak, mereka memang diundang untuk terlibat dalam persoalan tersebut.
Oleh karena itu Allah SWT telah memperingatkan kaum muslimin agar tidak mengambil orang kafir wali sebagaimana firman-Nya,” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (TQS. An Nisaa : 144). Meminta bantuan kaum kafir dalam rangka menyelesaikan masalah ummat Islam terbukti bersifat kontra produktif sebab pertolongan tersebut tidaklah gratis, selalu ada kompensasi atas bantuan tersebut. Fakta di Irak, Afghanistan dan wilayah negeri islam lain membuktikan campurtangan asing justru membuat masalah menjadi lebih runyam bahkan hal itu telah memberi space kepada kaum kafir untuk menguasai negeri – negeri islam. Maka benarlah yang difirmankan Allah SWT : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (TQS. Al Imran : 118)
Seyogyanya ummat islam bersikap independen, dalam menyelesaikan persoalan internal ummat dan hendaknya mengutamakan meminta bantuan saudara seaqidah. Dalam persoalan Libya ini sesungguhnya Liga Arab harus lebih memiliki peran daripada PBB ataupun AS. Ke 22 anggota Liga Arab seharusnya mengoptimalkan potensi diplomasi dan ekonomi mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan ummat di regional Timur Tengah, khususnya Libya. Sebab mengundang keterlibatan Pasukan asing (Kafir) terbukti hanya akan memberi peluang pada orang – orang kafir untuk menguasai ummat Islam. Oleh karena itu cara terbaik memecahkan segala persoalan ummat islam hari ini adalah dengan membangun ukhuwah islamiyyah hakiki dengan mengangkat seorang amirul mukminin yang bertugas memimpin ummat islam untuk menjalankan aqidah dan hukum islam di seluruh penjuru bumi, termasuk masalah pertikaian di internal ummat islam. Wallahu a’lam bi ashowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar