Sabtu, 25 Desember 2010

PARAMETER PERBUATAN

Banyak manusia menjalani kehidupannya tanpa menggunakan petunjuk. Mereka melakukan perbuatan-perbuatan tanpa menggunakan parameter untuk menimbang perbuatan tersebut. Oleh karena itu, anda melihat mereka melakukan perbuatan-perbuatan tercela dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut terpuji. Sebaliknya mereka meninggalkan perbuatan terpuji dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut tercela. Seorang wanita muslimah yang berjalan di jalan-jalan raya ibukota negeri-negeri Islam seperti Beirut, kairo, ia membuka betisnya, menampakkan kecantikan dan kemolekannya dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut terpuji. Seorang yang wara’ lagi rajin ke masjid tetapi ia meninggalkan terjun untuk mengoreksi penguasa yang rusak karena perbuatan tersebut bagian dari politik. Ia beranggapan bahwa terjun ke dunia politik adalah perbuatan yang tercela. Laki-laki dan wanita ini, keduanya jatuh dalam perbuatan dosa; wanita ini membuka auratnya sedangkan laki-laki tadi tidak memperhatikan urusan kaum muslimin. Keduanya tidak menjadikan suatu parameter bagi dirinya untuk menimbang perbuatannya dengan parameter tersebut. Andaikan keduanya menjadikan suatu parameter bagi dirinya tentu ia tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan mabda’ yang ia peluk. Oleh karena itu, suatu keharusan bagi manusia, mempunyai suatu parameter untuk menimbang perbuatannya sehingga ia mengetahui realitas perbuatannya sebelum melakukannya.
Islam telah menjadikan suatu parameter bagi manusia untuk menimbang segala sesuatuagar ia mengetahui perbuatan-perbuatan yang tercela dari perbuatan yang terpuji sehingga ia meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela dan melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Parameter ini tiada lain adalah syara’ semata. Apa yang dipandang syara’ sebagai perbuatan terpuji maka itulah yang terpuji, dan apa yang dipandang syara’ perbuatan tercela maka itulah yang tercela. Parameter ini bersifat kontinu sehingga sesuatu yang terpuji tidak akan berubah menjadi tercela, sebaliknya yang tercela tidak akan berubah menjadi terpuji. Tetapi apa yang dikatakan oleh syara’ terpuji akan tetap terpuji selamanya, sebaliknya apa yang dikatakan syara’ tercela tetap akan tercela selamanya.
Dengan demikian manusia akan berjalan pada jalan yang lurus serta sesuai petunjuk. Ia memahami perkara-perkara sesuai dengan hakikatnya. Berbeda bila ia tidak menjadikan syara’ sebagai parameter perbuatan bagi terpuji dan tercela maka perbuatan itu akan terpuji dalam suatu kondisi dan tercela pada kondisi yang lain. Akal melihat sesuatu terpuji sekarang kemudian besok ia melihatnya tercela. Juga suatu negeri memandang tercela, pada negeri yang lain memandangnya terpuji sehingga hukum sesuatu menjadi labit, terpuji dan tercela menjadi relatif tidak pasti. Maka ketika itu ia melakukan perbuatan tercela dengan anggapan itu perbuatan terpuji. Ia meninggalkan perbuatan terpuji dengan anggapan tercela.
Oleh karena itu, suatu keharusan menjadikan syara’ sebagai hakim dan menjadikannya sebagai parameter bagi perbuatan-perbuatan dan menjadikan terpuji apa yang dipandang terpuji oleh syara’ dan tercela apa yang dipandang tercela oleh syara’.

Sumber : Muhammad Muhammad Ismail. 1377 H. Refreshing Pemikiran Islam. Penerbit : Al Izzah. Maktabah al-Wa’i Beirut. Lebanon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar