Jumat, 11 Februari 2011

polemik naiknya gaji Pejabat ditengah kemiskinan rakyat

Negara yang menganut sistem demokrasi biasanya membuat anggaran belanja negara secara umum tiap satu tahun. Fakta anggaran belanja negara tersebut adalah bahwa anggaran belanja dinyatakan melalui peraturan yang disebut dengan peraturan anggaran belanja negara tahun sekian. Kemudian dikukuhkan oleh parlemen dan dijadikan sebagai peraturan setelah dibahas dengan parlemen. Pembahasan pasal-pasal anggaran tersebut mulai dari pasal per pasal, berikut dana-dana yang dibutuhkna oleh tiap-tiap pasal. Masing-masing pasal dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah, dimana pendapat tentang pasal tersebut dianggap meliputi keseluruhan, bukan tiap bagian pasal sehingga apabila diterima atau ditolak oleh parlemen maka pasal-pasal tersebut diterima atau ditolak secara keseluruhan.

Peraturan anggaran belanja tersebut terdiri dari beberapa ayat, yang menjelaskan dana pengeluaran negara selama satu tahun. Dan juga menjelaskan dana yang diperkirakan sebagai pendapatan negara selama satu tahun anggaran. Untuk iap ayat dibuatlah petunjuk kedalam lajur yang memuat kolom anggaran belanja baik mengenai pendapatan maupun pengeluaran. Berikutnya dibuatlah istilah-istilah untuk tiap-tiap lajur yakni pasal-pasal yang dimuat oleh suatu bab kemudian ditetapkan dana-dana secara global.

Model APBN seperti ini akan mengikuti kepentingan kelompok yang berpengaruh atau berkuasa, yang biasa dalam sistem kapitalis adalah para konglomerat. Dan biasanya rakyat banyak tidak berpengaruh dan menjadi objek penderita contoh APBN 2011. Dimana menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) di Jakarta, Minggu 23 Januari 2011. Koalisi ini juga menilai APBN 2011 digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran birokrasi, bukan kemakmuran rakyat. Misalnya, pemerintah menaikkan anggaran belanja pegawai sebesar Rp18,1 triliun, kenaikan belanja perjalanan Rp4,9 triliun, dan kenaikan belanja bunga utang sebesar Rp9,6 triliun.
Sementara belanja yang berhubungan dengan rakyat menjadi turun. Misalnya belanja subsidi menjadi Rp 13,6 triliun dan bantuan sosial menjadi Rp 8 triliun. “Anggaran sosial sifatnya hanya permen, gula-gula untuk rakyat,” tambah Ah Maftuchan dari Perkumpulan Prakarsa.
Kemudian Koalisi LSM ini juga menilai anggaran kesehatan yang jauh dari memadai. UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan anggaran untuk kesehatan harusnya mencapai minimal 5 persen. “Tapi ini hanya sekitar 2 persen untuk anggaran kesehatan,” jelas Yuna. “Anggaran kesehatan pun menurun dari Rp19,8 triliun jadi Rp13,6 triliun,” lanjut Yuna (VIVAnews, 27-1-2011). Dimana dalam anggaran 2011 tersebut pos untuk bantuan sosial dan kesehatan sangat sedikit sekali (menurun dari tahun 2010). Belum lagi prosedur pencairan dana yang akan melibatkan banyak korupsi dan penyelewengan lainnya.

Bagimana sebenarnya menurut islam?

Negara yang menganut sistem islam tidak akan membuat anggaran belanja negara tahunan. Sehingga setiap tahun tidak selalu dibutuhkan pembuatan peraturan tentang anggaran belanja. Juga tidak perlu pengesahan dari majelis umat. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut sistem demorasi dimana peraturan (sejenis undang-undang) yang berisi bab-bab, pasal-pasal, dana-dana yang dibutuhkan menurut tradisi mereka harus disahkan oleh parlemen. Oleh karena itu masalah tersebut dalam sistem islam tidak perlu disodorkan kepada dewan parlemen, bahkan semua ini tidak dibutuhkan oleh negara islam. Sebab pendapatan dan pengeluaran anggaran negara berdasarkan hukum syara’ yang bersifat qath’i. Bab-bab pendapatan dan pengeluaran negara merupakan bab-bab yang tetap yang telah ditentukan oleh hukum syara’ yang bersifat qath’i. Adapun mengenai pasal-pasal anggaran berikut dana-dana yang dibutuhkan pada masing-masing pos semuanya diserahkan kepada kebijakan dan ijtihad khalifah.

Oleh karena itu dalam islam tidak mengenal pembuatan anggaran belanja negara tahunan. Walaupun negara islam memiliki anggara belanja tetap yang bab-babnya telah ditetapkan oleh syara’, dan khalifah diberi wewenang untuk menetapkan pasal-pasalnya, istilah-istilahnya serta dana-dana yang dibutuhkan untuk kemaslahatan ummat tanpa memperhatikan waktu-waktu tertentu sedangkan pelaksanaannya dijalankan oleh Baitul Maal.

Pengeluaran Baitul Mal Ditetapkan Berdasarkan Enam Kaidah

Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta tersebut adalah hak yang dbelanjakan kepada mereka, berdasarkan ada dan tidaknya. Apabila harus dari kas zakat tersebut ada pada Baitul Mal, maka pembelanjaannya disalurkan pada objek-objeknya. Yaitu delapan asnaf yang disebukan dalam Al Qur’an, sebagai pihak yang hak dan yang wajib dibelanjakan pada mereka. Apabila harta tersebut tidak ada maka pemilikan orang yang mendapatkan bagiannya atas harta tersebut telah gugur. Dengan kata lain bila di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta dari bagian zakat, maka tidak seorangpun yang mendapat bagian dari zakat tadi. Dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk membayar zakat, berapapun jumlah hasil pengumpulannya.

Baitul Mal sebagai pihak yang berhak akibat terjadinya kekurangan atau untuk melaksanakan kewajiban jihad. Contohnya adalah seperti pembelanjaan untuk fakir miskin, ibnu sabil serta keperluan jihad. Hak mendapatkan pembelanjaan untuk keperluan ini tidak ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya harta tersebut. Dimana hak tersebut merupakan hak yng bersifat paten baik pada saat hartanya ada atau tidak. Yakni baik harta tersebut ada maupun tidak pada Baitul Mal. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib diberikan, apabila tidak ada, lalu dikuatirkan akan terjadinya kerusakan karena pembelanjaannya ditangguhkan, maka negara bisa meminjam harta untuk disalurkan seketika itu juga, berapapun hasil pengumpulannya dari kaum muslimin. Setelah itu dilunasi. Namun bila tidak dikuatirkan akan terjadi kerusakan maka diberlakukan kaidah “Fa Nadhiratul ila Maisyarah” (maka dilihat saja yang mudah) dimana pembelanjaannya bisa ditunda, hingga harta tersebut terumpul, barulah setelah itu dibelanjakan kepada yang berhak.

Baitul Mal sebagai pihak yang berhak karena suatu kompensasi yaitu adanya harta yang menjdi hak orang-orang yang telah memberikan jasa, lalu mereka meminta harta sebagai upah atas jasanya. Contohnya adalah gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya. Dan hak mendapatkan pembelanjaan untuk keperluan ini tidak ditentuan berdasarkan ada tidaknya harta. Dimana pembelanjaannya merupakan hak yang bersifat paten, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak ada didalam Baitul Mal. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu juga wajib dibelanjakan, apabila tidak ada, maka negara wajib untuk mengusahakannya. Yaitu dengan cara memungut harta yag diwajibkan atas kaum muslimin. Apabila dikuatirkan akan terjadinya kerusakan bila pembelanjaannya tidak segera dilakukan, maka negara harus meminjam harta untuk diberikan seketika itu juga, berapapun jumlah harta yang dikumpulkan dari kaum muslimin, setelah tu negara akan melunasinya. Apabila tidak dikuatirkan akan terjadi kerusakan maka diberlakukan kaidah “Fa Nadhiratul ila Maisyarah” (maka dilihat saja yang mudah) dimana pembelanjaannya bisa ditunda, hingga harta tersebut terumpul, barulah setelah itu dibelanjakan kepada orang yang berhak.

Baitul Mal sebagai pihak yang berhak dan untuk pembelanjaannya untuk kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Dengan kata lain pembelanjaannya diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah dihasilkan. Contohnya adalah semacam jalan, air, bangunan masjid, sekolah dan masalah-masalah lainnya yang adanya dianggap vital, dimana umat akan mengalami penderitaan, apabila masalah-masalah tersebut tidak ada. Dan hak mendapatkan pembelanjaan keperluan ini tidak ditentukan adanya harta. Dimana pembelanjaannya merupakan hak yang bersifat paten, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak. Apabila di dalam Baitul Mal ada harta, maka wajib disalurkan kepada keperlun-keperluan tersebut. Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta, maka kewajibannya berpindah kepada umat sehingga harta tersebut bisa dikumpulkan dari ummat secukupnya untuk memenuhi keperluan-keperluan yang bersifat paten tersebut. Setelah itu pembelanjaan diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran tadi melalui Baitul Mal. Sebab yang diberi, berhak karena adanya suatu kemaslahatan, bukan karena adanya kompensasi, dan tidak adanya pembelanjaan tersebut akan mengakibatkan penderitaan, sehingga hak mendapatkan pembelanjaan tersebut ditentukan berdasarkan ada tidaknya harta tersebut. Apabila harta tersebut tidak ada, maka kewajiban tersebut berada dipundak kaum muslimin, sehingga terpenuhinya kewajiban tersebut dengan adanya harta tadi dalam Baitul Mal hukumnya wajib.

Baitul Mal sebagai pihak yang berhak dan pembelanjaan diserahkan kepada adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apapun. Hanya saja umat tidak sampai tertimpa penderitaan disebabkan tidak adanya pembelanjaan tersebut. Contohnya adalah pembuatan jalan biasa, sementara orang-orang bisa menemukan jalan lain yang jauh ataupun yang lain. Hak mendapatkan pembelanjaan untuk keperluan ini ditentukan berdasarkan adanya harta, bukan pada saat tidak adanya. Apabila di dalam Baitul Mal tidak terdapat harta maka kewajiban tersebut gugur dari Baitul Mal dan aum muslimin tidak wajib membayar untuk keperluan ini.

Hak pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan, semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin. Seperti paceklik, gempa bumi, letusan gunung merapi atau serangan musuh maka hak pembelanjaannya tidak ditentukan berdasarkn adanya harta. Dimana pembiayaannya merupaan hak paten baik ada harta maupun tidak. Apabila harta tersebut ada maka wajib disalurkan seketika itu juga, dan apabila harta tidak ada dalam Baitul Mal maka kewajibannya dipikul oleh kaum muslimin. Oleh karena itu harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum muslimin seketika itu juga.

Anggaran belanja negara dalam sistem islam tidak tergantung pada pos lobby dan kesepakatan wakil rakyat atau pemerintah, tetapi tergantung kepada hukum kepemilikan harta. Apabila kepemilikan harta tersebut memang diperuntukkan sebagai kepemilikan umum, maka dia tidak boleh dialihkan kepada yang lainnya dengan atas nama kebijakan negara. Misalnya BBM adalah harta milik umum dalam pandangan hukum islam, harta ini apabila dijual hasilnya harus dikembalikan lagi untuk masyarakat umum, semisal untuk membangun sarana-saran umum, jalan raya, gedung pendidikan, rumah sakit, masjid, terminal, pelabuhan, bandara, dan sebagainya. Bukan untuk fakir miskin bukan pula pemegang saham. Sebab dana untuk fakir miskin telah ditentukan sumbernya yaitu dari harta zakat sebagaimana telah ditetapkan dalam Al Qur’an. Demikian juga tidak dibenarkan menjungkirbalikkan kepemilikan misalnya dana zakat untuk fakif miskin tidak boleh digunakan untuk sarana umum sekalipun sarana umum berupa rumah sakit atau masjid, sebab untuk membangun sarana umum telah ditentukan sumber dananya oleh hukum syariat islam adalah dari kepemilikan umum, seperti kekayaan tambang minyak, emas, listrik, telekomunikasi dan sebagainya. Hak-hak kepemilikan harus ditentukan oleh hukum, bukan oleh musyawarah, sebah musyawarah adalah untuk menjalankan hukum, bukan untuk membuat hukum. Allah berfirman yang artinya, “Sekiranya kebenaran itu diikutkan kepada hawa nafsu mereka tentu akan rusak binasalah langit dan bumi dan yang ada di dalamnya”. Wallahu a’lam bishwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar